Bukan Akhir Perjuangan
Oleh : Dendi Swaran Danu
Apakah hari ini menjadi hari bahagia atau menjadi kekecewaan yang mendalam pikiran itu yang sibuk menghakimi otakku. Ku coba ulangi memori-memori yang telah ku lewati ketika masih belajar dulu. “hahaha..”, tanpa sadar aku tertawa menyadari bahwa hari-hari yang paling bahagia adalah masa-masa sekolah apalagi ketika SMA. Saling mengejek, jahilin kawan, kadang-kadang merasa marah jika kawan tidak memberikan jawaban jika ulangan dan akan merasa rindu dan senang jika dilanda cinta lokasi sesama kawan sendiri.
“pan...cepetan sudah jam berapa sekarang “, kata ibuku membuyarkan lamunanku. “ya”, jawabku singkat, sambil membersihkan sisa-sisa air yang ada di tubuhku dengan memakai handuk. Kemudian beranjak kekamar memakai seragam sekolahku, pakai bedak, minyak rambut tanpa di sisir persepsiku sebagai lelaki rambut tanpa di sisir akan lebih kelihatan macho. Semua telah siap, “apakah ada yang terlupakan?” kata ku dalam hati. “aha..cat semprot inilah yang menjadi tanda seseorang lulus UN (ujian nasional) atau tidak”, dengan rasa percaya diri bahwa aku akan lulus.
Kemudian aku turun kelantai bawah. Rumahku memiliki dua tingkat. Tingkat pertama ruang tamu dan dua kamar, kamar orang tuaku dan kamar adikku. Tingkat atas ada kamarku dan kamar untuk tamu yang sekarang kosong.
“Adik mana ma ?” tanyaku, biasanya kalau sudah pagi dia yang paling ribut. “lagi main sepeda barunya”, jawab ibuku yang sedang mempersiapkan sarapan pagi untukku. Oya aku baru ingat sepeda baru yang dia dapatkan dari ayahku sebagai hadiah rangking satu yang dia peroleh, sekarang adikku resmi menjadi siswa kelas empat SD.
Nasi goreng plus telor mata sapi mewarnai sarapan pagi ini dan di tambakan teh hangat. Bismillahirrahmanirrahim dan dilanjutkan dengan doa makan ku awali sarapanku. “Apupun hasilnya nanti kamu jangan putus asa”, ceramah pagi ibuku. “Tenang ma aku akan lulus dan akan melanjutkan ke perguruan tinggi yang aku sukai”, jawabku dengan penuh percaya diri. “Kelulusan bukan ukuran kesuksesan seseorang”, kata ibuku, “Alhamdulillah, mama lihat saja sendiri aku akan membawa kelulusanku padamu”, kataku sambil beranjak mencuci tanganku, “berangkat dulu ma mohon doa restunya”, tambahku sambil mencium tangan ibuku yang lembut.
Ku engkol vespa kebanggaanku, “pergi dulu ma ya”, kata ku kepada mamaku yang berdiri mematung didepan pintu, “hati-hati nak, jangan ngebut”, tambah mamaku.
Orang-orang mulai keluar dengan aktivitasnya masing-masing berlomba-lomba ingin mendapatkan rahmat yang telah di berikan Allah kepada seluruh makhluk di waktu pagi. Berbagai profesi yang digeluti tercermin dari kostum yang dipakai, begitu juga dari segi bangunan dengan berbagai arsitektur dan memiliki warna tersendiri sehingga identitasnya begitu jelas. Sama sepertiku ini dengan memakai atasan putih dan bawahannya abu-abu sangat mencerminkan bahwa aku adalah siswa SMA, meskipun hari ini menjadi hari terakhir ku pakai.
Jarak lima kilometer terasa singkat ketika hati ini senang, berjumpa dengan teman-teman yang telah seminggu tak berjumpa, bagaikan sebuah kata-kata galau satu hari tak berjumpa bagaikan setahun. Sebenarnya ada satu orang yang sangat ku rindu sampai sekarang belum kutemukan wajahnya. Ku parkirkan kendaraan kesayanganku dan mulai mencari siapa pemilik wajah yang membuat hatiku selalu memikirkannya.
Itu dia seorang gadis yang duduk diantara kawan-kawanku, kulitnya putih dan face mukanya itu yang selalu membuatku terbayang melayang dari raut yang ayu memancarkan senyuman keindahan. Bicaranya kadang-kadang di buat bagai seorang anak kecil membuatku gemas selalu ingin bersamanya. Di saat dia berulang tahun ketika kami masih kelas dua aku memberikan hadiah untuknya sebuah bantal love, yang memang tujuanku untuk mengatakan cinta padanya tapi apa daya bibirku kelu jika berada di dekatnya. Jika teringat masa-masa itu aku jadi senyum-senyum sendiri.
Aku duduk diantara teman-teman ku yang sedang membicarakan langkah-langkah kedepan setelah lulus. Rata-ratanya sih mereka kuliah, ketika pertanyaan itu terlontar padaku aku hanya menjawab “aku akan kuliah jurusan ekonomi ingin membangun bisnis dan memberantas kemiskinan di negeri ini”, mereka tepuk tangan ketika mendengar tujuan muliaku.
Teng...teng...bunyi lonceng pertanda kami kumpul di depan kantor sekolah. Bapak kepala sekolah mulai memberikan wejangan kepada kami supaya tidak besar kepala ketika lulus dan tidak putus asa jika seandainya tidak lulus karena ini bukan akhir dari sebuah perjuangan. Setelah nasihat telah di sampaikan tibalah saat-saat yang menegangkan, nama-nama mulai di panggil untuk di berikan amplob yang berisi pengumuman lulus atau tidak.
Pesan pak kepala sekolah “di buka amplob setelah sampai di rumah”. Bagi kami itu hanya angin lalu terbukti dengan kami mulai membuka amplob langsung di sekolah. Ada yang menjerit bahagia dan ada yang histeris karena tidak lulus, bahkan beberapa orang sempat pingsan.
Amplob putih ditanganku aku mulai membukanya pastinya di awali dengan doa “bismillahirrahmanirrahim ya Allah berikanlah kelulusan kepadaku”. “tidak lulus” itulah yang tertulis dari isi amplob tersebut. “Kenapa, kenapa aku tidak lulus kenapa cobaan ini datang kepadaku” kataku dalam hati. Aku keluar dari sekolah teman-temanku bertanya padaku apakah aku lulus atau tidak tapi sama sekali takku hiraukan pertanyaan itu. Tetesan air mata mulai keluar dari pelupuk mataku. “Apakah yang aku katakan pada ibuku ?”, kataku dalam hati.
Aku yang sekarang duduk di bangku manager sebuah perusahaan sepatu yang terkenal di negeri ini tertawa ketika melihat koran yang menyatakan bahwa tingkat kelulusan tahun ini lebih rendah dengan tahun lalu. Aku mulai berkata seperti nasihat bapak kepala sekolahku “ini bukan akhir dari perjuangan”.
0 komentar:
Posting Komentar